(By: Ubaidillah)
Malam yang indah. Dari jendela kecil
perpustakaan di sisi kananku, aku melihat bulan sabit menggantung berhiaskan
bintang. Meski tidak purnama, malam ini tetap terang karena langit bersih tanpa
goresan awan. Perlahan, hembus angin sepoi-sepoi menyapu wajahku lembut. Sejuk. Suasana seperti ini selalu membuatku
teringat pada rumah. Apa kabar ibu? Adakah kau juga melihat apa yang ku lihat?
Aku tidak sabar menanti kunjungan rutin ibu ke pondokku:PonPes Babul Ilmi.
Sudah tiga tahun aku nyantri di sini. Waktu yang menurutku luar biasa
lama karena sejak hari pertama aku ada di sini aku sudah tak betah dan berniat
segera boyong, kembali ke rumah. Bagaimana aku bisa menetap di tempat yang
tidak aku sukai? Ah, mungkin ini karena Kang Jalal. Siapa Kang Jalal? Seperti apa
dia? Tenang, semua tanda tanya itu akan terjawab. Karena entah kenapa aku jadi
ingin mengenang masa singkatku berteman sekaligus berguru dengannya, tiga tahun
lalu…
*****
Aku mengenal Kang Jalal saat aku
kelas satu aliyah, dan dia mahasiswa semester akhir. Sebenarnya itu bisa
dibilang telat karena nama Kang Jalal telah lama mayshur di bumi Babul Ilmi.
Kang Jalal mengabdi sebagai takmir mushola pondok Babul Ilmi. Selain kuliah,
mengajar, dan mengaji, waktu senggangnya ia habiskan untuk mengabdi di mushola
pondok. Entah itu menyapu, mengepel, atau sekedar mengelap kaca. Dan suatu
hari, saat dia tengah membersihkan kotoran cicak, aku yang saat itu baru datang
terkejut melihatnya terpeleset di lantai licin. Cepat, kutolong ia.“Tidak
apa-apa, Mas?” “Iya,
terima kasih. Siapa namamu?”“Panggil
Faisal saja, Mas.”“Kenapa
kau di sini? Bukankah harusnya sekarang santri ada kegiatan muhadhoroh di
kamar?” Aku terdiam seraya menelan ludah.
Berat rasanya mengatakan ini. “Aku tidak betah di sini, Mas. Aku ingin boyong.”
Jika kebanyakan orang pondok iba mendengarnya, Kang Jalal justru tertawa.“Tidak
kerasan maksudmu?” ia bertanya, yang
cuma kujawab anggukan pelan.“Ah,
kasus lama.” Gumamnya dengan nada seolah telah beribu kali mendengar cerita
serupa, dari orang yang sama.“Lalu,
apa hubungannya antara tidak kerasan dan membolos dari kegiatan?”“Aku
tidak suka pondok ini! Pengurusnya galak, sok jago! Kalau memukul dan
memerintah seenaknya. Mereka pikir aku ini robot, apa?!” kataku geram.“Ah,
alasan lama. Klasik sekali!” balasnya.“Ya
sudah, ayo ikut aku.” Ia mengajakku ke kamarnya, kamar kecil di pojok mushola
yang memang diperuntukkan takmir. Dan siapa sangka, detik pertama pintu terbuka
dan aku masuk ke kamarnya, detik itu pula takdirku berbalik seratus delapan
puluh derajat. Seketika, seluruhnya.“Duduklah,
akan kuambilkan minum.” Ia pergi lalu kembali dengan dua air mineral. Satu
diserahkannya padaku. Bagus, kebetulan aku sedang haus.“Eh,jangan
diminum dulu.” Katanya mencegahku. Ia pergi lagi dan kembali membawa galon
besar berisi air penuh. Setelah menaruh
galon itu, ia lantas duduk di hadapanku.“Nah,
sekarang bayangkan galon ini adalah seluruh hidupmu. Dan gelas kecil yang kau
bawa adalah tiga tahun waktu mondokmu. Bisa?”“Oke.
Lalu?”“Kamu
rugi besar kalau membuang air di gelas yang sekarang kau pegang demi mendapat
seisi galon ini. Asal kamu tahu, itu bukan air sembarangan. Itu air zam-zam.
Sedangkan air di galon ini adalah air tawar. Banyak bakteri dan kuman yang bisa
buatmu sakit jika meminumnya. Singkatnya, kamu sekarang harus bersyukur karena
diberi kesempatan ‘mencicipi’ air zam-zam sebanyak yang kamu mampu di sini, dan
jauh dari air tawar. Paham?” Meski belum sepenuhnya paham,
kuputuskan mengangguk saja. Hari itu, aku mendapat satu pesan dari seseorang.
Pesan yang membuatku merasa bodoh dan tolol jika aku berniat meninggalkan
‘sumur zam-zam’ yang nikmatnya hanya bisa kurasakan sementara demi menuju
‘sumur tua’ yang jelas-jelas isinya air tawar kotor, berlumut, dan tentu saja penuh
bakteri. Tiba-tiba saja aku teringat sebuah ayat: maka, nikmat tuhanmu yang
manakah yang kamu dustakan?
*****
Semenjak itu, aku rajin berkunjung
ke kamar kecil di pojok mushola . semua uang dan barang yang kuanggap penting
ku titipkan ke Kang Jalal. Pun juga semua resah dan gundah kutumpahkan ke Kang
Jalal yang mau-mau saja jadi pendengar setiaku kala itu.“Huh,
kesal aku dengan teman-temanku.” Keluhku padanya suatu hari, “Mentang-mentang
tubuh mereka lebih besar dariku, mereka mengejekku seenaknya, bahkan tak jarang
mamukul!” Kang Jalal manggut-manggut mendengar ocehanku. Setelah aku
selesai menumpahkan semua kegalauanku
padanya, akhirnya ia menatapku dengan tatapan yang dibuat sesantai mungkin.“Sudah?
Cuma itu?”“Itu
tidak ‘cuma’, Kang!” decakku antara gemas dan kesal. Setengah tidak terima
karena lima menit ocehanku hanya mendapat respon tidak sampai lima detik untuk
sekedar bilang, ‘sudah? cuma itu?’“Begini.”
Kang Jalal akhirnya bersiap menjawab, “Jujur saja, aku sudah tidak tertarik
menjadi ‘tempat sampah’ yang siap sedia menampung curhatanmu. Pertama, aku
mahasiswa semester akhir. Tugasku banyak. Kedua, curhatanmu terlalu umum, nggak
menarik, dan selalu itu-itu saja.” Ia berhenti sejenak. Memastikan aku memahami
dan mencerna tiap kata-katanya. “Faisal, ini terakhir kali aku menjadi ‘tempat
sampah’ yang siap menampung curhatanmu. Mulai besok, tumpahkan keluh kesahmu di
sini.” Ia memberiku sebuah buku. Ragu, aku menerimanya lugu.“Mungkin
kamu terlalu sensitif,
Sal.” Kang Jalal mulai masuk pada tahap nasehat.
“Mereka
mengejek, menertawakan, atau bahkan memukulmu cuma dalam rangka bercanda. Aku
yakin itu. Mereka ingin akrab denganmu. Asal kau tahu, dulu aku pernah dijuluki
‘pujangga gagal’ karena namaku. Aku maklum saja, malah cuek dan cenderung
bangga. Berarti namaku keren dan nggak ‘pasaran’!”“Tapi
setiap mereka mengejekku, kenapa aku selalu memikirkannya ya, Kang?”“Itu
artinya kamu BAPER! Tahu baper? Terlalu bawa-bawa perasaan! Kalau kamu diejek
atau dicela lalu kamu patah semangat atau nge-down, berarti kamu belum
siap terjun ke masyarakat. Karena di masyarakat ejekan atau celaannya lebih
dahsyat lagi daripada di pondok.”“Bagaimana
caranya agar aku tidak terpengarih ejekan mereka, Kang?”“Ya
nggak usah dipikirin, dong! Hidup kok dibikin susah!” Kang Jalal menghempaskan dirinya
ke kasur tipis. Sementara aku masih termenung merenungkan kata-katanya barusan.
Benar juga, kenapa aku harus marah dan membuat segalanya begitu rumit? Toh,
pasti benar kata Kang Jalal kalau mereka melakukan itu karena ingin mengenalku
lebih dekat. Kenapa aku malah menjauh?
Diam-diam, rasa kagumku pada Kang
Jalal bertambah besar. Tidak cuma karena nasehat atau kata-katanya, tapi juga
karena aku yakin kalau sifatnya yang easy going itu terbangun setelah ia
berhasil melewati berbagai pengalaman, berbagai ujian.“Aku
ingin jadi dewasa.” Kataku mengalihkan topik, “Sepertinya menyenangkan jadi
orang dewasa, bisa memilih pilihan hidupnya sendiri. Bukan begitu, Kang?”“Salah
besar. Jadi dewasa itu tidak enak.” Kang Jalal menggeleng, “Kalau boleh jujur
lagi, sebenarnya aku iri denganmu.”Aku
terkejut. “kenapa?”“Kau
masih muda, masih dalam pencarian jati diri yang menurutku asyik. Ketika
dewasa, saat kita tahu siapa sebenarnya diri kita, kita akan berkata, ‘Oh,
ternyata ini jati diriku.’, dan pencarian itupun berakhir. Tinggallah kita yang
terjebak di antara rutinitas dan spontanitas yang semakin lama makin
membosankan. Kalau saja ada peri ajaib yang mampu mengabulkan permintaanku, aku
akan minta supaya aku dikembalikan ke masa kecil. Masa di mana aku bebas
bermain tanpa harus dipusingkan masalah-masalah orang dewasa. Atau mungkin
kembali ke masa remaja, saat aku dilanda cinta monyet pada pandangan pertama…”
Kang Jalal memejamkan mata lalu tersenyum. Aku yakin fikirannya tengah melayang
pada suatu masa, dan ia terlena mengenangnya.“Kamu
harus bersyukur, Sal. Kamu harus bersyukur ditakdirkan mondok di Babul Ilmi
ini. Percayalah, dalam pencarianmu kamu akan dibantu oleh ‘tangan tak terlihat’
yang menuntunmu menuju kedewasaan. Dan sambil menunggu itu, tulislah keluh
kesahmu di buku pemberianku. Menulislah, semoga engkau cepat dewasa.”“Tidak,
aku sekarang benci dewasa.” Kang Jalal tertawa kecil mendengar perkataanku.
Akhirnya ia meralat kata-katanya, “Menulislah, semoga kau tak pernah dewasa!”“Kang,
aku boleh bertanya lagi? Pertanyaan terakhir.”“Boleh.
Mau tanya apa?”“Apa hal
paling menakutkan, menyesakkan, dan menyebalkan bagi orang dewasa?” Kang Jalal tampak berfikir keras.
Mungkin ia kesulitan memilih satu di antara sekian permasalahan orang dewasa.
Namun, sesaat kemudian ia tersenyum, lalu menjawab, “Saat ditanya oleh sanak
saudara, ‘kapan nikah?’.” ***** Sayangnya, kebersamaanku dengan Kang
Jalal tidak lama. Tiga bulan setelah mengenal dan akrab dengannya, sesuatu
terjadi. Aku ingat betul bagaimana air muka
Kang Jalal saat itu; senang bukan kepalang. Dengan setelan jas hitamnya yang
mentereng, ia meminta do’aku.“Do’akan
aku ya, Sal. Mau menyempurnakan separuh agama.” Pintanya tersenyum.“Pasti,
Kang. Omong-omong, siapa nama calonnya?” Kang Jalal menyebutkan sebuah nama.“Wow…itukan
putrinya pengasuh! Wah… Kang Jalal dapat seorang Neng! Rahasianya apa, Kang?”“Ngaji,
ngabdi, tawadhu’ pada kyai.” Mantap, Kang Jalal menjawab.“Iya,
deh. Semoga lancar. Kang Jalal ini sudah akan nikah atau masih baru mau
lamaran?”“Nikah?
Santai dulu, dong. Hari ini melamar dulu. Kalau lancar dan diterima, pernikahan akan
dilaksanakan satu bulan lagi.”
“Pasti
diterima, Kang.” Aku menepuk-nepuk pundaknya, meyakinkan.“Amin.” Akhirnya, lamaran Kang jalal memang
diterima oleh Neng Rita –nama calonnya-. Tapi mungkin Kang Jalal belum tahu
bahwa hidup selalu bersisikan dengan maut. Dan saat takdir menyingkap tabirnya
yang penuh teka-teki dan misteri, siap tidak siap, kita harus rela menerimanya.
Sesakit apapun itu. Sore itu, sehabis melamar Neng Rita
di kediamannya, Kang Jalal langsung ke pasar. Ia berencana membelikanku
oleh-oleh. Setelah memilih dan memilah, pilihannya jatuh pada sepasang sandal
kualitas menengah dengan harga lumayan murah. Dibelinya sandal itu dengan
ceria. Setelah semua keperluannya terbeli, ia bergegas kembali ke Babul Ilmi. Saat itulah! Dia menyeberang jalan
tanpa tengok kiri kanan. Sebuah truk menghantamnya telak. Ia terpental sejauh
tiga meter. Darahnya bersimbah berceceran di jalanan. Sadarkah kau bahwa cinta
dan benci hanya terpisah sekat setipis kertas? Tahukah kau bahwa hidup dan mati
hanya terpisah sekat sehalus kapas? ***** Pondok pesantren Babul Ilmi langsung
gempar begitu mendengar kabar kematian Kang Jalal. Mungkin setelah Neng Rita,
akulah orang paling sedih di dunia saat itu. Dengan menangis dan memaksa, aku
bersikeras ingin ikut melihat kondisi Kang Jalal.“Tidak
bisa, Sal. Kau harus tetap ikut kegiatan pondok.” Keamanan pondok Babul Ilmi
itu mencegahku.“Kumohon,
Pak. Aku dan Kang Jalal sudah sangat akrab…” nadaku memelas, dan aku mulai
mencari-cari kaki keamanan itu.“FAISAL!”
keamanan itu menendang tubuhku yang sudah memeluk erat kakinya, “bersikaplah
dewasa! Jangan buat Kang Jalal tambah sedih karena melihatmu menangis.
Ikhlaskan dia…” Aku memandang sinis keamanan itu.
Tatapanku tajam dan tak bersahabat.“Aku
benci menjadi dewasa!” kataku padanya lantang padanya, sebelum pergi membawa
sedih yang terasa perih. ***** Semenjak
meninggalnya Kang Jalal, para santri ditampar kenyataan terkait kebersihan
mushola. Semenjak meninggalnya Kang Jalal, kyai ikut murung menyaksikan
putrinya yang sering ketahuan merenung atau sesekali menangis tanpa sebab.
Semenjak meninggalnya Kang Jalal, mushola sering kotor dan tak lagi nyaman
untuk berjamaah. Kamar kecil di pojok mushola dikunci karena tak lagi
berpenghuni. Ketua
pondok akhirnya berinisiatif membuat jadwal piket harian mushola. Jadwal yang
cuma tertulis karena tak pernah berjalan karena para santri punya seribu alasan
untuk menghindar dari kewajiban. Aku terharu membayangkan pengabdian Kang Jalal
selama empat tahun sejak ia mahasiswa baru sampai mahasiswa semester akhir,
lalu tahu-tahu sudut mataku basah. Alangkah tulus pengabdian Kang Jalal. Mungkin
betul kata orang-orang bijak itu. Kita baru sadar seberapa berharga seseorang
bagi kita justru saat orang itu telah pergi, meninggalkan kita yang baru tahu
bahwa tanpa orang itu, hidup kita tak pernah lagi sama. Begitulah keadaan
pondok semenjak meninggalnya Kang Jalal. Sebagai
penghormatan terakhir, para ustadz memutuskan menaruh satu-satunya barang yang
dibawa Kang Jalal saat kecelakaan:sepasang sandal. Sepasang sandal itu ditaruh
di depan ndalem pengasuh. Sesekali, Neng Rita terlihat menggunakan sandal itu.
Ia tersenyum membayangkan Kang Jalal tengah menunggunya di surga, tempat segala
keindahan bermuara. ***** Sekarang,
semua telah berubah. Aku sudah kelas 3 aliyah. Rentang waktu tiga tahun telah
banyak mengubahku. Dari remaja cengeng yang suka merengek minta pulang pada
orang tua saat disambang, menjadi remaja mandiri yang apa-apa dikerjakan
sendiri. Betul
Kang Jalal, jadi dewasa itu banyak tidak enaknya. Semakin dewasa kamu, semakin
besar tanggung jawabmu. Tapi, dewasa adalah suatu keniscayaan yang selalu
dibawa waktu. Maka, ku anggap saja itu tantangan terbesarku kini.“Faisal! Lagi nulis apa? Serius amat.” Suara itu
mengagetkanku.“Biasalah, nulis diary.”“Nggak bosan?” tanya Alfan –sahabatku- lagi. Aku
menggeleng.“Sebenarnya, apa sih yang buat kamu betah berlama-lama
nulis diary?” ia bertanya penasaran. Untuk menambah efek dramatis, sebelum
menjawab ku tolehkan kepalaku ke kanan dan kiri, seperti khawatir akan ada
orang lain yang mendengar jawabanku.“Karena ada semacam penyaluran emosi yang unik saat kita
menulis diary.” Jawabku akhirnya.“Oh ya? Seperti apa rasanya?” tanya Alfan makin
penasaran.“Kau sungguhan ingin tahu?” tanyaku balik, yang ia balas
dengan anggukan macam orang-orangan sawah.“Coba saja sendiri.” Kataku enteng, lalu bangkit dan
pergi dari perpustakaan tempatku sedari tadi duduk. Tak ku hiraukan lagi suara
Alfan yang memanggilku setengah menggerutu. Tiga
tahun berlalu setelah meninggalnya Kang Jalal, dan aku masih melakukan
‘perintah’ dia untuk menulis keluh kesahku di buku diary. Buku pemberiannya
telah lama penuh. Ternyata menulis diary memang metode yang pas buat ‘tempat
curhat’. Kertas putih tak akan berontak saat kita menulis apapun di atasnya.
Kertas putih juga pasrah saja saat kita merobeknya, atau meremasnya menjadi
gumpalan kecil untuk dibuang. Dan saat selesai menulis diary dalam satu hari,
akan ada secercah rasa lega yang tahu-tahu bersemayam di dada kita. Damai
rasanya. Pada
buku yang sekarang ku bawa, aku bercerita apa saja, menulis apa saja. Tentang
uangku yang habis di tanggal tua, tentang santri putri yang menaksirku tapi aku
tak menaksirnya, tentang nilai-nilai merahku, dan tentu saja tentang kehidupan
pesantren yang meski membosankan, tetaplah menyenangkan dan membawa ketenangan.
Suatu hari nanti, pasti aku akan rindu kehidupan pesantren ini. Langkahku
terhenti di belokan antara asrama dan ndalem pengasuh. Ku pandangi sandal
keramat itu dan tersenyum. Neng Rita pasti bahagia karena para bidadari surga
iri padanya. Yah, kalian pasti tahu karena apa dan siapa. Ku
lanjutkan langkahku ke asrama. Lalu entah kenapa saat itu aku tiba-tiba
teringat Kang Jalal. Senyumku merekah tanpa bisa ditahan. Langkahku berubah
tegap dan mantap. Kan kutapaki masa depan dengan berani, Kang. Kedewasaan
menantangku, Kang. Pengecut jika aku menghindarinya atau malah lari darinya.
Aku sadar, masa depanku masih panjang. Tapi kini aku tak lagi takut, Kang.
Terimakasih atas semua pelajaran dan kebersamaan denganmu. Kan ku jadikan masa
singkat itu menjadi salah satu bekalku menaklukan kedewasaan, menapaki masa
depan.“Terimakasih, Kang.” Aku berkata sendiri, lalu
mempercepat langkah. Asramaku masih jauh, masih banyak yang harus kutempuh... Blitar,
11-11-2016 pukul 14.07*) meraih juara 1 lomba cerpen dalam festival seni sastra santri kategori santri cabang