Jumat, 23 Desember 2016

Sandal keramat Kang Jalal*


                              (By: Ubaidillah)           
 Malam yang indah. Dari jendela kecil perpustakaan di sisi kananku, aku melihat bulan sabit menggantung berhiaskan bintang. Meski tidak purnama, malam ini tetap terang karena langit bersih tanpa goresan awan. Perlahan, hembus angin sepoi-sepoi menyapu wajahku lembut. Sejuk.            Suasana seperti ini selalu membuatku teringat pada rumah. Apa kabar ibu? Adakah kau juga melihat apa yang ku lihat? Aku tidak sabar menanti kunjungan rutin ibu ke pondokku:PonPes Babul Ilmi. Sudah tiga tahun aku nyantri di sini. Waktu yang menurutku luar biasa lama karena sejak hari pertama aku ada di sini aku sudah tak betah dan berniat segera boyong, kembali ke rumah. Bagaimana aku bisa menetap di tempat yang tidak aku sukai? Ah, mungkin ini karena Kang Jalal. Siapa Kang Jalal? Seperti apa dia? Tenang, semua tanda tanya itu akan terjawab. Karena entah kenapa aku jadi ingin mengenang masa singkatku berteman sekaligus berguru dengannya, tiga tahun lalu…                                                                       
                                                                               *****            
Aku mengenal Kang Jalal saat aku kelas satu aliyah, dan dia mahasiswa semester akhir. Sebenarnya itu bisa dibilang telat karena nama Kang Jalal telah lama mayshur di bumi Babul Ilmi. Kang Jalal mengabdi sebagai takmir mushola pondok Babul Ilmi. Selain kuliah, mengajar, dan mengaji, waktu senggangnya ia habiskan untuk mengabdi di mushola pondok. Entah itu menyapu, mengepel, atau sekedar mengelap kaca. Dan suatu hari, saat dia tengah membersihkan kotoran cicak, aku yang saat itu baru datang terkejut melihatnya terpeleset di lantai licin. Cepat, kutolong ia.“Tidak apa-apa, Mas?”                                                          “Iya, terima kasih. Siapa namamu?”“Panggil Faisal saja, Mas.”“Kenapa kau di sini? Bukankah harusnya sekarang santri ada kegiatan muhadhoroh di kamar?”            Aku terdiam seraya menelan ludah. Berat rasanya mengatakan ini. “Aku tidak betah di sini, Mas. Aku ingin boyong.” Jika kebanyakan orang pondok iba mendengarnya, Kang Jalal justru tertawa.“Tidak kerasan maksudmu?”  ia bertanya, yang cuma kujawab anggukan pelan.“Ah, kasus lama.” Gumamnya dengan nada seolah telah beribu kali mendengar cerita serupa, dari orang yang sama.“Lalu, apa hubungannya antara tidak kerasan dan membolos dari kegiatan?”“Aku tidak suka pondok ini! Pengurusnya galak, sok jago! Kalau memukul dan memerintah seenaknya. Mereka pikir aku ini robot, apa?!” kataku geram.“Ah, alasan lama. Klasik sekali!” balasnya.“Ya sudah, ayo ikut aku.” Ia mengajakku ke kamarnya, kamar kecil di pojok mushola yang memang diperuntukkan takmir. Dan siapa sangka, detik pertama pintu terbuka dan aku masuk ke kamarnya, detik itu pula takdirku berbalik seratus delapan puluh derajat. Seketika, seluruhnya.“Duduklah, akan kuambilkan minum.” Ia pergi lalu kembali dengan dua air mineral. Satu diserahkannya padaku. Bagus, kebetulan aku sedang haus.“Eh,jangan diminum dulu.” Katanya mencegahku. Ia pergi lagi dan kembali membawa galon besar berisi air penuh.  Setelah menaruh galon itu, ia lantas duduk di hadapanku.“Nah, sekarang bayangkan galon ini adalah seluruh hidupmu. Dan gelas kecil yang kau bawa adalah tiga tahun waktu mondokmu. Bisa?”“Oke. Lalu?”“Kamu rugi besar kalau membuang air di gelas yang sekarang kau pegang demi mendapat seisi galon ini. Asal kamu tahu, itu bukan air sembarangan. Itu air zam-zam. Sedangkan air di galon ini adalah air tawar. Banyak bakteri dan kuman yang bisa buatmu sakit jika meminumnya. Singkatnya, kamu sekarang harus bersyukur karena diberi kesempatan ‘mencicipi’ air zam-zam sebanyak yang kamu mampu di sini, dan jauh dari air tawar. Paham?”            Meski belum sepenuhnya paham, kuputuskan mengangguk saja. Hari itu, aku mendapat satu pesan dari seseorang. Pesan yang membuatku merasa bodoh dan tolol jika aku berniat meninggalkan ‘sumur zam-zam’ yang nikmatnya hanya bisa kurasakan sementara demi menuju ‘sumur tua’ yang jelas-jelas isinya air tawar kotor, berlumut, dan tentu saja penuh bakteri. Tiba-tiba saja aku teringat sebuah ayat: maka, nikmat tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?                                                                        
                                                                           *****            
Semenjak itu, aku rajin berkunjung ke kamar kecil di pojok mushola . semua uang dan barang yang kuanggap penting ku titipkan ke Kang Jalal. Pun juga semua resah dan gundah kutumpahkan ke Kang Jalal yang mau-mau saja jadi pendengar setiaku kala itu.“Huh, kesal aku dengan teman-temanku.” Keluhku padanya suatu hari, “Mentang-mentang tubuh mereka lebih besar dariku, mereka mengejekku seenaknya, bahkan tak jarang mamukul!” Kang Jalal manggut-manggut mendengar ocehanku. Setelah aku selesai  menumpahkan semua kegalauanku padanya, akhirnya ia menatapku dengan tatapan yang dibuat sesantai mungkin.“Sudah? Cuma itu?”“Itu tidak ‘cuma’, Kang!” decakku antara gemas dan kesal. Setengah tidak terima karena lima menit ocehanku hanya mendapat respon tidak sampai lima detik untuk sekedar bilang, ‘sudah? cuma itu?’“Begini.” Kang Jalal akhirnya bersiap menjawab, “Jujur saja, aku sudah tidak tertarik menjadi ‘tempat sampah’ yang siap sedia menampung curhatanmu. Pertama, aku mahasiswa semester akhir. Tugasku banyak. Kedua, curhatanmu terlalu umum, nggak menarik, dan selalu itu-itu saja.” Ia berhenti sejenak. Memastikan aku memahami dan mencerna tiap kata-katanya. “Faisal, ini terakhir kali aku menjadi ‘tempat sampah’ yang siap menampung curhatanmu. Mulai besok, tumpahkan keluh kesahmu di sini.” Ia memberiku sebuah buku. Ragu, aku menerimanya lugu.“Mungkin kamu terlalu sensitif, Sal.” Kang Jalal mulai masuk pada tahap nasehat.
“Mereka mengejek, menertawakan, atau bahkan memukulmu cuma dalam rangka bercanda. Aku yakin itu. Mereka ingin akrab denganmu. Asal kau tahu, dulu aku pernah dijuluki ‘pujangga gagal’ karena namaku. Aku maklum saja, malah cuek dan cenderung bangga. Berarti namaku keren dan nggak ‘pasaran’!”“Tapi setiap mereka mengejekku, kenapa aku selalu memikirkannya ya, Kang?”“Itu artinya kamu BAPER! Tahu baper? Terlalu bawa-bawa perasaan! Kalau kamu diejek atau dicela lalu kamu patah semangat atau nge-down, berarti kamu belum siap terjun ke masyarakat. Karena di masyarakat ejekan atau celaannya lebih dahsyat lagi daripada di pondok.”“Bagaimana caranya agar aku tidak terpengarih ejekan mereka, Kang?”“Ya nggak usah dipikirin, dong! Hidup kok dibikin susah!” Kang Jalal menghempaskan dirinya ke kasur tipis. Sementara aku masih termenung merenungkan kata-katanya barusan. Benar juga, kenapa aku harus marah dan membuat segalanya begitu rumit? Toh, pasti benar kata Kang Jalal kalau mereka melakukan itu karena ingin mengenalku lebih dekat. Kenapa aku malah menjauh?
            Diam-diam, rasa kagumku pada Kang Jalal bertambah besar. Tidak cuma karena nasehat atau kata-katanya, tapi juga karena aku yakin kalau sifatnya yang easy going itu terbangun setelah ia berhasil melewati berbagai pengalaman, berbagai ujian.“Aku ingin jadi dewasa.” Kataku mengalihkan topik, “Sepertinya menyenangkan jadi orang dewasa, bisa memilih pilihan hidupnya sendiri. Bukan begitu, Kang?”“Salah besar. Jadi dewasa itu tidak enak.” Kang Jalal menggeleng, “Kalau boleh jujur lagi, sebenarnya aku iri denganmu.”Aku terkejut. “kenapa?”“Kau masih muda, masih dalam pencarian jati diri yang menurutku asyik. Ketika dewasa, saat kita tahu siapa sebenarnya diri kita, kita akan berkata, ‘Oh, ternyata ini jati diriku.’, dan pencarian itupun berakhir. Tinggallah kita yang terjebak di antara rutinitas dan spontanitas yang semakin lama makin membosankan. Kalau saja ada peri ajaib yang mampu mengabulkan permintaanku, aku akan minta supaya aku dikembalikan ke masa kecil. Masa di mana aku bebas bermain tanpa harus dipusingkan masalah-masalah orang dewasa. Atau mungkin kembali ke masa remaja, saat aku dilanda cinta monyet pada pandangan pertama…” Kang Jalal memejamkan mata lalu tersenyum. Aku yakin fikirannya tengah melayang pada suatu masa, dan ia terlena mengenangnya.“Kamu harus bersyukur, Sal. Kamu harus bersyukur ditakdirkan mondok di Babul Ilmi ini. Percayalah, dalam pencarianmu kamu akan dibantu oleh ‘tangan tak terlihat’ yang menuntunmu menuju kedewasaan. Dan sambil menunggu itu, tulislah keluh kesahmu di buku pemberianku. Menulislah, semoga engkau cepat dewasa.”“Tidak, aku sekarang benci dewasa.” Kang Jalal tertawa kecil mendengar perkataanku. Akhirnya ia meralat kata-katanya, “Menulislah, semoga kau tak pernah dewasa!”“Kang, aku boleh bertanya lagi? Pertanyaan terakhir.”“Boleh. Mau tanya apa?”“Apa hal paling menakutkan, menyesakkan, dan menyebalkan bagi orang dewasa?”            Kang Jalal tampak berfikir keras. Mungkin ia kesulitan memilih satu di antara sekian permasalahan orang dewasa. Namun, sesaat kemudian ia tersenyum, lalu menjawab, “Saat ditanya oleh sanak saudara, ‘kapan nikah?’.”                                                                        *****            Sayangnya, kebersamaanku dengan Kang Jalal tidak lama. Tiga bulan setelah mengenal dan akrab dengannya, sesuatu terjadi.            Aku ingat betul bagaimana air muka Kang Jalal saat itu; senang bukan kepalang. Dengan setelan jas hitamnya yang mentereng, ia meminta do’aku.“Do’akan aku ya, Sal. Mau menyempurnakan separuh agama.” Pintanya tersenyum.“Pasti, Kang. Omong-omong, siapa nama calonnya?”            Kang Jalal menyebutkan sebuah nama.“Wow…itukan putrinya pengasuh! Wah… Kang Jalal dapat seorang Neng! Rahasianya apa, Kang?”“Ngaji, ngabdi, tawadhu’ pada kyai.” Mantap, Kang Jalal menjawab.“Iya, deh. Semoga lancar. Kang Jalal ini sudah akan nikah atau masih baru mau lamaran?”“Nikah? Santai dulu, dong. Hari ini melamar dulu. Kalau lancar dan diterima, pernikahan akan dilaksanakan satu bulan lagi.”
“Pasti diterima, Kang.” Aku menepuk-nepuk pundaknya, meyakinkan.“Amin.”            Akhirnya, lamaran Kang jalal memang diterima oleh Neng Rita –nama calonnya-. Tapi mungkin Kang Jalal belum tahu bahwa hidup selalu bersisikan dengan maut. Dan saat takdir menyingkap tabirnya yang penuh teka-teki dan misteri, siap tidak siap, kita harus rela menerimanya. Sesakit apapun itu.            Sore itu, sehabis melamar Neng Rita di kediamannya, Kang Jalal langsung ke pasar. Ia berencana membelikanku oleh-oleh. Setelah memilih dan memilah, pilihannya jatuh pada sepasang sandal kualitas menengah dengan harga lumayan murah. Dibelinya sandal itu dengan ceria. Setelah semua keperluannya terbeli, ia bergegas kembali ke Babul Ilmi.            Saat itulah! Dia menyeberang jalan tanpa tengok kiri kanan. Sebuah truk menghantamnya telak. Ia terpental sejauh tiga meter. Darahnya bersimbah berceceran di jalanan. Sadarkah kau bahwa cinta dan benci hanya terpisah sekat setipis kertas? Tahukah kau bahwa hidup dan mati hanya terpisah sekat sehalus kapas?                                                                        *****            Pondok pesantren Babul Ilmi langsung gempar begitu mendengar kabar kematian Kang Jalal. Mungkin setelah Neng Rita, akulah orang paling sedih di dunia saat itu. Dengan menangis dan memaksa, aku bersikeras ingin ikut melihat kondisi Kang Jalal.“Tidak bisa, Sal. Kau harus tetap ikut kegiatan pondok.” Keamanan pondok Babul Ilmi itu mencegahku.“Kumohon, Pak. Aku dan Kang Jalal sudah sangat akrab…” nadaku memelas, dan aku mulai mencari-cari kaki keamanan itu.“FAISAL!” keamanan itu menendang tubuhku yang sudah memeluk erat kakinya, “bersikaplah dewasa! Jangan buat Kang Jalal tambah sedih karena melihatmu menangis. Ikhlaskan dia…”            Aku memandang sinis keamanan itu. Tatapanku tajam dan tak bersahabat.“Aku benci menjadi dewasa!” kataku padanya lantang padanya, sebelum pergi membawa sedih yang terasa perih.                                                                        *****             Semenjak meninggalnya Kang Jalal, para santri ditampar kenyataan terkait kebersihan mushola. Semenjak meninggalnya Kang Jalal, kyai ikut murung menyaksikan putrinya yang sering ketahuan merenung atau sesekali menangis tanpa sebab. Semenjak meninggalnya Kang Jalal, mushola sering kotor dan tak lagi nyaman untuk berjamaah. Kamar kecil di pojok mushola dikunci karena tak lagi berpenghuni.            Ketua pondok akhirnya berinisiatif membuat jadwal piket harian mushola. Jadwal yang cuma tertulis karena tak pernah berjalan karena para santri punya seribu alasan untuk menghindar dari kewajiban. Aku terharu membayangkan pengabdian Kang Jalal selama empat tahun sejak ia mahasiswa baru sampai mahasiswa semester akhir, lalu tahu-tahu sudut mataku basah. Alangkah tulus pengabdian Kang Jalal.            Mungkin betul kata orang-orang bijak itu. Kita baru sadar seberapa berharga seseorang bagi kita justru saat orang itu telah pergi, meninggalkan kita yang baru tahu bahwa tanpa orang itu, hidup kita tak pernah lagi sama. Begitulah keadaan pondok semenjak meninggalnya Kang Jalal.            Sebagai penghormatan terakhir, para ustadz memutuskan menaruh satu-satunya barang yang dibawa Kang Jalal saat kecelakaan:sepasang sandal. Sepasang sandal itu ditaruh di depan ndalem pengasuh. Sesekali, Neng Rita terlihat menggunakan sandal itu. Ia tersenyum membayangkan Kang Jalal tengah menunggunya di surga, tempat segala keindahan bermuara.                                                                        *****            Sekarang, semua telah berubah. Aku sudah kelas 3 aliyah. Rentang waktu tiga tahun telah banyak mengubahku. Dari remaja cengeng yang suka merengek minta pulang pada orang tua saat disambang, menjadi remaja mandiri yang apa-apa dikerjakan sendiri.            Betul Kang Jalal, jadi dewasa itu banyak tidak enaknya. Semakin dewasa kamu, semakin besar tanggung jawabmu. Tapi, dewasa adalah suatu keniscayaan yang selalu dibawa waktu. Maka, ku anggap saja itu tantangan terbesarku kini.“Faisal! Lagi nulis apa? Serius amat.” Suara itu mengagetkanku.“Biasalah, nulis diary.”“Nggak bosan?” tanya Alfan –sahabatku- lagi. Aku menggeleng.“Sebenarnya, apa sih yang buat kamu betah berlama-lama nulis diary?” ia bertanya penasaran. Untuk menambah efek dramatis, sebelum menjawab ku tolehkan kepalaku ke kanan dan kiri, seperti khawatir akan ada orang lain yang mendengar jawabanku.“Karena ada semacam penyaluran emosi yang unik saat kita menulis diary.” Jawabku akhirnya.“Oh ya? Seperti apa rasanya?” tanya Alfan makin penasaran.“Kau sungguhan ingin tahu?” tanyaku balik, yang ia balas dengan anggukan macam orang-orangan sawah.“Coba saja sendiri.” Kataku enteng, lalu bangkit dan pergi dari perpustakaan tempatku sedari tadi duduk. Tak ku hiraukan lagi suara Alfan yang memanggilku setengah menggerutu.            Tiga tahun berlalu setelah meninggalnya Kang Jalal, dan aku masih melakukan ‘perintah’ dia untuk menulis keluh kesahku di buku diary. Buku pemberiannya telah lama penuh. Ternyata menulis diary memang metode yang pas buat ‘tempat curhat’. Kertas putih tak akan berontak saat kita menulis apapun di atasnya. Kertas putih juga pasrah saja saat kita merobeknya, atau meremasnya menjadi gumpalan kecil untuk dibuang. Dan saat selesai menulis diary dalam satu hari, akan ada secercah rasa lega yang tahu-tahu bersemayam di dada kita. Damai rasanya.            Pada buku yang sekarang ku bawa, aku bercerita apa saja, menulis apa saja. Tentang uangku yang habis di tanggal tua, tentang santri putri yang menaksirku tapi aku tak menaksirnya, tentang nilai-nilai merahku, dan tentu saja tentang kehidupan pesantren yang meski membosankan, tetaplah menyenangkan dan membawa ketenangan. Suatu hari nanti, pasti aku akan rindu kehidupan pesantren ini.            Langkahku terhenti di belokan antara asrama dan ndalem pengasuh. Ku pandangi sandal keramat itu dan tersenyum. Neng Rita pasti bahagia karena para bidadari surga iri padanya. Yah, kalian pasti tahu karena apa dan siapa.            Ku lanjutkan langkahku ke asrama. Lalu entah kenapa saat itu aku tiba-tiba teringat Kang Jalal. Senyumku merekah tanpa bisa ditahan. Langkahku berubah tegap dan mantap. Kan kutapaki masa depan dengan berani, Kang. Kedewasaan menantangku, Kang. Pengecut jika aku menghindarinya atau malah lari darinya. Aku sadar, masa depanku masih panjang. Tapi kini aku tak lagi takut, Kang. Terimakasih atas semua pelajaran dan kebersamaan denganmu. Kan ku jadikan masa singkat itu menjadi salah satu bekalku menaklukan kedewasaan, menapaki masa depan.“Terimakasih, Kang.” Aku berkata sendiri, lalu mempercepat langkah. Asramaku masih jauh, masih banyak yang harus kutempuh...                                                                                                    Blitar, 11-11-2016 pukul 14.07*) meraih juara 1 lomba cerpen dalam festival seni sastra santri kategori santri cabang